Anak Meninggal Dunia di LPKA: satu lagi gejala belum sehatnya sistem peradilan pidana anak

PUSKAPA
3 min readJun 15, 2022

Dua hari lalu, seorang anak ditemukan meninggal dunia di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) Kelas IIA Bengkulu. Kanal berita melaporkan dugaan bahwa ia mengakhiri hidupnya sendiri (detik.com). Peristiwa ini menyoroti permasalahan pelik dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) di Indonesia. Studi PUSKAPA di empat kota di Indonesia menunjukkan bahwa program rehabilitasi di dalam lembaga, baik LPKA maupun LPKS, belum sepenuhnya mengakomodir pemulihan kesehatan mental ABH. Padahal, studi menunjukkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum kemungkinan memiliki permasalahan kesehatan mental (Casiano et al., 2013; Ali & Awadelkarim, 2016).

Studi PUSKAPA tidak dapat menemukan asesmen khusus untuk mengidentifikasi kebutuhan individu dan rencana penanganannya (Tieken et al., 2020). Bila ada, studi yang sama melaporkan bahwa kegiatan anak di dalam LPKA terbatas pada program pendidikan formal dan non-formal, pelatihan vokasional, serta bimbingan spiritual. Pada beberapa LPKA, kunjungan rutin dari pekerja sosial memberikan terapi psikososial secara berkelompok bagi anak-anak di dalam LPKA. Satu LPKA lain melaporkan sesi konseling yang diselenggarakan oleh pembimbing kemasyarakatan. Sayangnya, program-program ini tidak dapat memberikan layanan spesifik bagi kebutuhan masing-masing individu. Hanya satu LPKA yang melaporkan tersedianya psikolog profesional di dalam lembaga yang memberikan layanan rutin, walaupun rujukan kepada psikiater atau Rumah Sakit Jiwa tersedia di keempat LPKA untuk masalah kesehatan mental berat (Tieken et al., 2020).

Tidak optimalnya layanan rehabilitasi dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah pembimbing kemasyarakatan dan petugas LPKA yang bertugas untuk mendampingi dan mengelola kasus masing-masing anak yang berkonflik dengan hukum (Tieken et al., 2020). Padahal, pembimbing kemasyarakatan bertugas untuk mendampingi anak sejak awal berkontak dengan hukum hingga kembali ke dalam masyarakat. Selain ketersediaan, Pembimbing kemasyarakatan dan petugas lainnya di dalam LPKA perlu memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan asesmen, identifikasi kebutuhan, dan melakukan rujukan layanan.

Bappenas dengan dukungan PUSKAPA dan UNICEF telah menyusun sebuah Peta Jalan Penguatan Sistem Peradilan Pidana Anak 2023–2027 yang mendorong penguatan rehabilitasi dan pendampingan anak yang berhadapan dengan hukum di Indonesia. LPKA perlu membenahi mekanisme asesmen dan evaluasi layanan untuk dapat mengidentifikasi kebutuhan anak ketika memasuki fasilitas pemasyarakatan. Selain itu, Peta Jalan SPPA juga mendorong pembentukan program dan layanan yang berorientasi pada pemulihan termasuk ketersediaan layanan rehabilitasi medis, baik fisik maupun psikis, untuk anak di dalam lembaga. Dengan memperkuat layanan rehabilitasi dan pendampingan, Indonesia dapat mendukung lebih banyak anak dan mencegah peristiwa ini terulang kembali.

Ali, A. S. A., & Awadelkarim, M. A. (2016). The nature and prevalence of psychiatric disorders in a Sudanese juvenile correctional facility. Sudanese Journal of Paediatrics, 16(2), 28–40.

Casiano, H., Katz, L. Y., Globerman, D., & Sareen, J. (2013). Suicide and Deliberate Self-injurious Behavior in Juvenile Correctional Facilities: A Review. Journal of the Canadian Academy of Child and Adolescent Psychiatry = Journal de l’Academie Canadienne de Psychiatrie de l’enfant et de l’adolescent, 22(2), 118–124. SciTech Premium Collection.

Tieken, S., Sahputra, F., Amanda, P. K., Kusumaningrum, S. (2020). Kesempatan Kedua dalam Hidup: Memulihkan Kesempatan bagi Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Jakarta: PUSKAPA berkolaborasi dengan Bappenas dan UNICEF

--

--

PUSKAPA

We work with policymakers and civil society on inclusive solutions that create equal opportunities for all children and vulnerable populations.