Anak yang Berhadapan dengan Hukum: Kondisi dan Serangkaian Kerentanannya

PUSKAPA
4 min readSep 22, 2021

Tulisan Yudi untuk PUSKAPA

Photo by CHUTTERSNAP on Unsplash

Belanda memutuskan untuk menutup 18 penjara pada tahun 2016, karena sedikitnya jumlah narapidana dan tahanan. Hal tersebut sangat kontras jika dibandingkan dengan dekade sebelumnya. Belanda justru merupakan negara dengan tingkat pemenjaraan tertinggi di Eropa. Perubahan ini terjadi karena sistem hukum di Belanda mulai fokus menangani pelaku pelanggar hukum melalui pendekatan rehabilitasi dibandingkan dengan pemenjaraan. Pendekatan rehabilitasi dinilai lebih efektif untuk mengurangi tingkat kriminalitas sekaligus mengurangi tingkat penghuni di dalam penjara (Ash, 2016).

Sistem hukum berlaku bagi siapa pun, termasuk bagi anak yang berhadapan dengan hukum atau yang dikenal dengan ABH. Penutupan penjara di Belanda juga berpengaruh pada jumlah fasilitas khusus anak, yang berkurang dari total 15 di tahun 2007, menjadi hanya 5 di tahun 2016. Selain itu di tahun 2014, Belanda menaikkan batas usia anak yang bisa dikenakan pidana (usia pertanggungjawaban pidana) dari 18 tahun menjadi 23 tahun. Usaha tersebut membawa Belanda menempati peringkat lima besar dalam hal akses terhadap keadilan bagi anak.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Perjalanan kita masih panjang, karena hingga saat ini, Indonesia menempati peringkat 122 dari 197 negara dalam peringkat global akses terhadap keadilan bagi anak. Sebenarnya Indonesia telah mencapai kemajuan dengan memberlakukan Undang-Undang №11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Melalui UU SPPA, diharapkan mendorong perubahan mendasar terhadap penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, untuk menghindarkan anak dari proses dalam sistem peradilan pidana konvensional, dan memastikan tidak ada anak yang harus berakhir di penjara.

Sayangnya, kondisi yang terjadi di lapangan masih berlawanan dengan tujuan UU SPPA. Hingga saat ini, 88% anak masih ditahan dan 91% anak masih diputus dengan pidana penjara (PUSKAPA, Bappenas, UNICEF, 2020). Dengan kondisi seperti itu, pemerintah perlu memahami bahwa menempatkan anak di dalam fasilitas penahanan atau pemenjaraan justru dapat berdampak buruk bagi anak, terlebih sistem pemasyarakatan Indonesia masih memiliki beragam kendala yang dapat membuat situasi dan kondisi anak semakin tidak menguntungkan.

Kondisi Tahanan di Bawah Standar, Anak Semakin Rentan

Anak membutuhkan perhatian lebih terhadap proses tumbuh kembangnya, salah satunya adalah lingkungan yang tepat. Jika anak tumbuh di lingkungan yang tidak mendukung, akan ada kemungkinan munculnya berbagai masalah sosial, seperti kenakalan anak. Kondisi ini merupakan permasalahan yang bersifat struktural, seperti misalnya kemiskinan dan terbatasnya akses terhadap pendidikan. WHO sendiri telah menyatakan bahwa youth violence merupakan bagian dari masalah kesehatan masyarakat (UN, 2015). Karena itu, kita perlu meninjau perilaku anak tidak semata-mata sebagai pelanggaran hukum. Sistem peradilan pidana perlu menempatkan perilaku anak sebagai konsekuensi masalah struktural sehingga dapat menyediakan solusi menyeluruh.

Sayangnya, pembatasan kemerdekaan menjadi solusi bagi mayoritas perkara anak (PUSKAPA, Bappenas, dan UNICEF, 2020). Alih-alih menyelesaikan masalah, penahanan dan pemenjaraan justru berpotensi memperumit keadaan. Jika ditempatkan dalam penjara, anak akan kesulitan mengakses layanan dasar yang sudah menjadi haknya. Kondisi lingkungan yang tidak sehat dan tidak memadai di fasilitas penahanan dan pemenjaraan juga dapat mempengaruhi kesehatan anak. Situasi lembaga yang padat menempatkan anak pada risiko penyakit menular, termasuk Covid-19 (Simpson et al., 2019). Bukan hanya kondisi fisik, kesehatan mental anak juga dapat terganggu. Berdasarkan laporan KPAI masih banyak ditemukan penyiksaan terhadap anak di penjara dengan persentase mencapai 26,8%.

Selain itu, tidak semua ABH ditempatkan di fasilitas khusus anak. Laporan PUSKAPA, Bappenas, dan UNICEF pada tahun 2020 menunjukkan lebih dari 50% anak yang ditempatkan dalam lapas dewasa, yang sudah kelebihan kapasitas. Data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan di bulan Juni 2021 mencatat kelebihan kapasitas di dalam penjara sudah mencapai 199%. Situasi ini tentu berpengaruh terhadap kondisi kesejahteraan penghuninya. Di Indonesia, situasi kelebihan populasi mempengaruhi kesejahteraan dan keamanan penghuni dengan ancaman konflik maupun bencana. Berada di dalam penjara juga mempengaruhi kesehatan mental anak. Studi menunjukkan remaja yang berada di dalam penjara memiliki risiko melukai diri sendiri dan bunuh diri (Casiano et al., 2016).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa solusi bagi anak yang berhadapan hukum berpotensi memperburuk situasi mereka. Meskipun sudah ada kemajuan berupa regulasi dalam UU SPPA, namun implementasinya masih belum optimal. Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk melindungi semua anak melalui ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak. Artinya, negara sudah seharusnya menjamin terpenuhinya hak-hak anak, termasuk anak-anak yang terlibat di dalam sistem peradilan pidana anak. Diperlukan komitmen yang lebih kuat bagi pemerintah untuk dapat lebih memahami kembali kerentanan anak sehingga berbagai kebijakan yang akan dihasilkan kedepannya dapat membantu anak untuk mendapatkan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan.

Tulisan ini merupakan karya akhir Asep Yudi Ridwan dalam program Belajar Kerja di PUSKAPA Batch III yang bertujuan menjadi sarana bagi peserta untuk mengembangkan kemampuan menulis, berargumen, dan menyuarakan pendapat mereka. Isi tulisan sepenuhnya didasari ketertarikan dan pendalaman peserta atas isu yang mereka pilih. Opini yang termuat tidak mewakili pandangan atau pendapat PUSKAPA atas isu terkait.

--

--

PUSKAPA

We work with policymakers and civil society on inclusive solutions that create equal opportunities for all children and vulnerable populations.