Memulihkan Anak Korban Kekerasan Seksual Melalui Restitusi

PUSKAPA
7 min readMay 24, 2023

Tulisan Hario Danang Pambudhi untuk PUSKAPA

Kekerasan seksual masih menghantui kehidupan anak di Indonesia. Berdasarkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja 2021, 4 dari 100 anak laki-laki di pedesaan, 3 dari 100 anak laki-laki di perkotaan, dan 8 dari 100 anak perempuan di perkotaan dan pedesaan pernah mengalami kekerasan seksual (KPPPA, 2021).

Kekerasan seksual dapat memberikan dampak yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan yang optimal pada anak. Dampak tersebut meliputi kesehatan fisik, kesejahteraan emosional, kesehatan mental dan perilaku internal, perilaku eksternal, hubungan interpersonal, sosio-ekonomi, kepercayaan spiritual, hingga kerentanan untuk viktimisasi ulang (Fisher et al, 2017). Dampak itu membuat peran pemerintah dalam menyediakan layanan pemulihan bagi anak korban kekerasan seksual amat penting sebagai bentuk perlindungan masa depan anak.

Ganti kerugian melalui mekanisme restitusi merupakan salah satu bentuk pemulihan korban kekerasan seksual yang disediakan pemerintah.

Restitusi mencerminkan salah satu pandangan restorative justice dalam hukum pidana yang menggeser orientasi penghukuman menjadi pengembalian keadaan seperti semula melalui partisipasi langsung pelaku, korban, dan masyarakat dengan memberi dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggung jawab atas tindakannya (Mareta, 2017).

Dengan kata lain, apabila pelaku membayar restitusi kepada korban, maka diharapkan tertanam rasa tanggung jawab sosial yang berfungsi sebagai alat untuk menyadarkan pelaku kejahatan atas “hutang” (akibat perbuatannya) kepada korban (Atmasasmita, 1992). Di sisi lain, dengan dipenuhinya hak atas restitusi bagi korban, maka hukum pidana telah memperhatikan kepentingan korban dengan memberikan perlindungan terhadap korban dengan memberikan jaminan atau santunan atas penderitaan yang dialaminya sebagai korban tindak pidana (Suhariyanto, 2013).

Kendati memiliki tujuan yang baik, pelaksanaan restitusi bagi korban kekerasan seksual di Indonesia masih belum optimal. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat pembayaran dana restitusi oleh pelaku kepada korban kekerasan seksual masih sangat sedikit. Dari Rp. 2.130.183.947 yang dihitung LPSK, hanya Rp. 229.112.700 yang diputus hakim, dan Rp. 10.364.000 yang dibayar pelaku (LPSK, 2020). Sejalan dengan temuan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) yang mengatakan bahwa masih sedikitnya permohonan restitusi korban kekerasan seksual yang diterima oleh hakim. Dari 735 putusan yang diteliti, hanya 0,1% putusan yang memutus pelaku untuk membayar restitusi pada korban, sementara sisanya tidak memuat informasi pemulihan dan korban tidak mengajukan permohonan pemulihan kepada hakim (IJRS, 2022). Hal ini menimbulkan pertanyaan, apa yang membuat pelaksanaan restitusi bagi anak korban kekerasan seksual tidak optimal?

Tantangan Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Mendapatkan Restitusi

UU №13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta perubahannya (UU PSK) mempertegas kedudukan restitusi sebagai hak korban untuk menuntut ganti rugi kepada pelaku dan/atau pihak ketiga. Hal ini mencakup (1) ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; (2) ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana, dan/atau; (3) penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.

Dalam hal korban merupakan anak yang mengalami kekerasan seksual, UU №23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak beserta perubahannya (UU PA) turut menegaskan bahwa anak korban kekerasan seksual memiliki hak untuk mengajukan restitusi. Hal ini juga sejalan dengan tindak pidana prioritas yang dapat difasilitasi permohonan restitusi oleh LPSK sebagai amanat dari UU PSK. Ketentuan tersebut kemudian diperjelas melalui PP №43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana serta PP №7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.

Kendati Indonesia telah memiliki mekanisme klaim restitusi, hal tersebut bukan berarti tanpa kekurangan. Setidaknya, kekurangan tersebut dapat dilihat dari tiga komponen, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum yang saling berkaitan dan membuat tidak optimalnya pemenuhan hak atas restitusi bagi anak korban kekerasan seksual.

Pertama, substansi hukum yang meliputi materi hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan (Friedman, 2001). Kekurangan paling esensial dalam substansi hukum restitusi anak yang ada sebelumnya berkaitan dengan ketiadaan konsekuensi bagi pelaku dan/atau pihak ketiga yang tidak mau atau tidak mampu membayar restitusi. Sehingga, pelaksanaan hak atas restitusi bagi anak korban kekerasan seksual seakan digantungkan pada itikad baik pelaku untuk membayar.

Kekurangan ini menjadi celah yang dimanfaatkan pelaku dengan enggan membayar restitusi kepada korban. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya jumlah dana restitusi yang dibayarkan pelaku kekerasan seksual. Pada tahun 2020, LPSK mencatat dari Rp. 229.112.700 jumlah dana restitusi yang diputus hakim, hanya Rp. 10.364.000 yang dibayar pelaku (LPSK, 2020).

Kedua, struktur hukum yang berkaitan dengan kelembagaan, sistem, proses, dan kinerja dalam melaksanakan hukum (Friedman, 2001). Hal ini terdapat pada aparat penegak hukum (APH) serta LPSK yang menemui hambatan dalam melaksanakan hukum. LPSK menemukan masih banyak APH yang tidak berperspektif korban. Misalnya, JPU yang enggan memasukan permohonan restitusi dalam tuntutan serta hakim yang masih jarang mengabulkan permohonan restitusi yang diajukan korban (LPSK, 2020). Selain itu, Komnas Perempuan menemukan fakta berdasarkan testimoni pendamping korban bahwa masih banyak korban yang tidak diinformasikan hak-haknya sebagai korban saat menjalani pemeriksaan di berbagai tahap peradilan pidana (Komnas Perempuan, 2020). IJRS juga mencatat masih banyak hakim yang hanya memperhitungkan komponen dampak kekerasan seksual sebagai bagian dari proses penghukuman pada pelaku, bukan dalam konteks pemulihan bagi korban (IJRS, 2022). Di sisi lain, LPSK memiliki keterbatasan berkaitan dengan jangkauan layanan bagi daerah, anggaran yang tidak cukup, dan infrastruktur yang kurang memadai (Marabessy, 2015).

Ketiga, budaya hukum yang berkaitan dengan kesadaran hukum masyarakat (Friedman, 2001). Hal ini menjadi kompleks karena kesadaran hukum sangat bergantung pada dua komponen lainnya. Misalnya untuk melihat kesadaran hukum penggunaan mekanisme restitusi oleh korban, maka harus dimulai dari korban yang melaporkan kasusnya ke pihak berwajib hingga masuk proses peradilan untuk memohonkan restitusi. Namun, berdasarkan Survei Barometer Kesetaraan Gender IJRS dan INFID 2020, mayoritas korban kekerasan seksual sejumlah 57,3% memilih untuk tidak melapor karena takut, malu, tidak tau lapor kemana, bahkan merasa bersalah. Pun jika melapor, korban lebih memilih melapor ke keluarga dibanding pihak berwajib (IJRS dan INFID, 2020). INFID juga menemukan bahwa masih terdapat bentuk-bentuk penyelesaian perkara kekerasan seksual di luar jalur hukum, misalnya berdamai atau mekanisme kekeluargaan, dinikahkan, hingga pembayaran sejumlah uang (INFID, 2020).

Memastikan Hak Atas Restitusi Bagi Anak Korban Kekerasan Seksual Ke Depan

Tidak optimalnya pelaksanaan restitusi menimbulkan beberapa dampak. Pertama, tujuan restorative justice dalam pelaksanaan restitusi tidak tercapai. Restitusi bertujuan untuk merestorasi kerusakan yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukan pelaku. Tanpa pembayaran tersebut, tujuan restitusi untuk membuat pelaku sadar dan bertanggung jawab atas kesalahannya serta membantu proses pemulihan korban tidak tercapai.

Kedua, munculnya biaya pemulihan yang ditanggung sendiri oleh korban. Proses pemulihan dampak kekerasan bagi korban anak membutuhkan waktu yang lama. Bahkan, dampak tersebut tidak hanya bersifat jangka pendek dan menengah, tetapi bisa bertahan seumur hidup (Fisher et al, 2017).

Dana restitusi dapat menjadi solusi untuk biaya untuk pemulihan jangka panjang bagi korban. Mengingat, biaya pemulihan korban yang disediakan pemerintah memiliki keterbatasan. Studi PPH Unika Atma Jaya Jakarta menemukan bentuk keterbatasan tersebut berupa alokasi anggaran bagi korban yang sedikit. Rata-rata hanya Rp. 86.000 sampai Rp. 223.000 per korban dalam satu tahun untuk pemberian layanan di sektor hukum, kesehatan, dan sosial. Padahal, alokasi anggaran ideal bagi per korban adalah Rp. 2,1 juta hingga Rp. 6,9 juta dalam satu tahun. Sehingga, hal ini memunculkan biaya langsung yang harus ditanggung sendiri oleh korban untuk pemulihannya. Dalam hal korban kekerasan seksual merupakan anak, studi menemukan biaya yang harus ditanggung sendiri meliputi biaya akses layanan, biaya transportasi, dll (PPH Unika Atma Jaya Jakarta, 2020). Selain itu, masih terdapat tantangan dalam mengakses layanan bagi korban, misalnya jaminan kesehatan dari pemerintah tidak lagi menanggung pelayanan kesehatan akibat tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana disebut Perpres №82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Dalam perkembangannya, pengaturan restitusi kini diperbaharui oleh UU №12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan menambah komponen restitusi bagi korban mencakup ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban, menyertakan mekanisme penyitaan dan pelelangan aset pelaku sebagai jaminan restitusi, menyediakan pidana pengganti (penjara bagi individu dan penutupan sebagian kegiatan usaha selama satu tahun untuk korporasi) apabila harta hasil pelelangan aset pelaku tidak cukup untuk membayar restitusi, serta melibatkan peran negara untuk membayar kompensasi pada korban melalui dana bantuan apabila harta pelaku tidak cukup membayar restitusinya. Selain itu, diterbitkannya Pedoman Kejaksaan RI №1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana dan Perma №1 Tahun 2022 tentang Restitusi dan Kompensasi turut menjadi angin segar bagi pemenuhan hak atas restitusi ke depan.

Penyempurnaan kerangka regulasi soal restitusi harus diselaraskan dengan kesiapan APH, LPSK dan pihak berkepentingan lainnya dalam mengimplementasikan pengaturan baru restitusi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara (1) DPR dan Pemerintah melakukan sinkronisasi pengaturan hak serta mekanisme restitusi bagi anak korban kekerasan seksual dalam peraturan perundang-undangan lain, misalnya KUHP dan KUHAP; (2) Pemerintah segera membentuk peraturan pelaksana yang memuat desain dana bantuan korban sebagaimana amanat UU TPKS; (3) Lembaga penegak hukum memperkuat pelaksanaan pedoman yang telah dibentuk masing-masing mengenai penanganan perkara kekerasan seksual berperspektif korban; (4) APH dan LPSK menjamin koordinasi yang baik dalam penanganan perkara dan pemenuhan hak anak korban kekerasan seksual; (5) Pemerintah memperkuat kapasitas (sumber daya, keuangan, infrastruktur, dll) lembaga penyedia layanan yang dimiliki negara sebagaimana amanat UU TPKS, dan; (6) Pemerintah memasifkan edukasi kekerasan seksual kepada masyarakat serta mengoptimalkan kerjasama dengan berbagai stakeholders dalam proses pemantauan serta evaluasi pelaksanaan restitusi.

Referensi:

Atmasasmita, R. (1992). Masalah Santunan Terhadap Korban Kejahatan. Majalah Hukum Nasional.

Fisher, C., Goldsmith, A., Hurcombe, R., & Soares, C. (2017). The impacts of child sexual abuse : A rapid evidence assessment (Issue July). https://www.iicsa.org.uk/reports-recommendations/publications/research/impacts-csa

IJRS. (2022). Refleksi penanganan kekerasan seksual di Indonesia, indeksasi terhadap putusan pengadilan tahun 2018–2020. http://ijrs.or.id/refleksi-penanganan-kekerasan-seksual-di-indonesia-indeksasi-terhadap-putusan-pengadilan-tahun-2018-2020/

LPSK. (2020). Laporan Tahunan LPSK Tahun 2020. https://lpsk.go.id/publikasi/laporan

Mareta, J. (2018). Penerapan Restorative Justice Melalui Pemenuhan Restitusi Pada Korban Tindak Pidana Anak. Jurnal LEGISLASI INDONESIA, 15(4), 287.

Marasabessy, F. (2016). Restitusi Bagi Korban Tindak Pidana: Sebuah Tawaran Mekanisme Baru. Jurnal Hukum & Pembangunan, 45(1), 53.

PPH Unika Atma Jaya Jakarta. (2020). Studi analisis biaya dan dampak kekerasan terhadap perempuan. https://pph.atmajaya.ac.id/pustaka/studi-analisis-biaya-dan-dampak-kekerasan-terhadap-perempuan-di-enam-kotakabupaten-indonesia/

Suhariyanto, B. (2015). Quo Vadis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Melalui Restitusi. Jurnal Hukum Dan Peradilan, 2(1), 1–22.

Tim Peneliti INFID. (2020). Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender. Infid, September. https://ijrs.or.id/wp-content/uploads/2020/12/Laporan-Studi-Kuantitatif-INFID-IJRS.pdf

--

--

PUSKAPA

We work with policymakers and civil society on inclusive solutions that create equal opportunities for all children and vulnerable populations.