Menjadikan Pengalaman Magang Lebih dari Sekadar Formalitas

PUSKAPA
5 min readSep 15, 2021

Twina Paramesthi untuk PUSKAPA

Ijazah atau surat tanda kelulusan sudah tidak lagi menjamin dalam mendapatkan pekerjaan. Memang masih banyak tempat kerja yang menentukan minimal tingkat pendidikan sebagai persyaratan utama bagi para pelamar kerja. Tetapi, apabila seorang pelamar kerja hanya bermodalkan selembar yang menyatakan dirinya telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu, maka menjadi berat bagi penerima kerja karena pelamar tersebut belum memiliki pengalaman di dunia profesional.

Untuk mempercantik surat lamaran kerja dengan adanya pengalaman magang, mahasiswa mengambil kesempatan magang apa pun. Sekali pun program magang tidak sesuai dengan bidang studi yang mereka pelajari di kuliah, hingga tidak memberikan kompensasi apa pun, tidak menjadi persoalan bagi mahasiswa yang mencari pengalaman sebelum bekerja.

Bagi mahasiswa yang fokus menambah pengalaman kerja untuk CV atau menunjukkan bahwa mahasiswa itu aktif di kegiatan di luar kampus, mungkin tidak masalah jika saat magang perannya menjadi tukang fotocopy dan tukang pembuat kopi. Karena memang tuntutan untuk menuntaskan mata kuliah dengan magang membuat sebagian mahasiswa berpikir, “Yang penting gue dapat tempat magang biar cepat lulus!”.

Sadar diri bahwa saya merupakan mahasiswa tingkat akhir yang belum memiliki pengalaman di bidang profesional, maka saya mencoba peruntungan dengan mendaftar program magang yang infonya berseliweran di lini masa Instagram dan Twitter. PUSKAPA membuka kesempatan bagi mahasiswa dari semua jurusan untuk belajar bekerja. Banyak program magang yang menentukan jurusan secara spesifik bagi yang hendak mendaftar magang. PUSKAPA membuka pintu selebar mungkin bagi seluruh mahasiswa dari semua jurusan, karena mereka berprinsip menggunakan pendekatan lintas disiplin ilmu untuk menyelesaikan kompleksnya permasalahan yang berkaitan dengan anak. Rasa jengkel karena selama studi Ilmu Hukum saya hanya diajak untuk menggunakan kacamata hukum saja membuat saya sadar pentingnya menggunakan berbagai kacamata dalam mengurai berbagai persoalan.

Sesi Wawancara adalah Kesempatan Saling Mengenal

Wawancara dengan PUSKAPA merupakan kali pertama saya melakukan wawancara secara virtual, sehingga saya jauh lebih gugup dibanding wawancara tatap muka. Walau gugup, saya memanfaatkan sesi wawancara untuk memastikan lagi, apakah tempat magang ini sudah sesuai dengan yang saya inginkan. Saya tetap mengajukan pertanyaan untuk mengulik tentang PUSKAPA dalam sesi wawancara tersebut. Karena anak merupakan fokus dari PUSKAPA, maka saya bertanya apakah anak dilibatkan menjadi subjek penelitian PUSKAPA. Kemudian, apabila dilibatkan, apakah ada etika atau pedoman yang digunakan dalam menjadikan subjek penelitian. Selain itu, batasan usia minimal anak yang boleh dilibatkan dalam penelitian selalu menjadi pertanyaan yang belum juga terjawab selama saya menempuh masa studi saya. Dari sesi wawancara ini, baru saya ketahui bahwa saat itu PUSKAPA sedang menyusun buku pegangan tentang melibatkan anak dalam penelitian, yang akan segera diterbitkan dalam beberapa bulan. Mendengar bahwa buku tersebut akan segera diterbitkan, saya semakin yakin bahwa PUSKAPA merupakan tempat magang yang tepat, karena ketika meneliti PUSKAPA juga memperhatikan etika dalam melibatkan anak sebagai subjek penelitian.

Tidak hanya tentang kinerja PUSKAPA saja yang dapat saya ketahui dari sesi wawancara, ternyata budaya kerja PUSKAPA juga terkuak. Hasilnya sesi wawancara terasa berjalan dua arah, tidak hanya saya saja yang membuka diri.

Saya mendapat pertanyaan,

“Apa yang akan kamu lakukan jika jadwal PUSKAPA bertabrakan dengan jadwal bimbingan skripsimu?”

Karena keinginan saya untuk diterima, maka tanpa berpikir panjang saya menjawab akan selalu mendahulukan tugas magang dalam kondisi apapun, sehingga urusan perkuliahan akan saya nomor duakan.

Tanggapan dari staf PUSKAPA justru mengagetkan.

“Urusan perkuliahanmu itu tetap nomor satu, yang penting tetap mengomunikasikannya dengan kami kalau ada kendala dalam pengerjaan tugas.”

Begitu balasan staf PUSKAPA dengan senyuman dan nada yang menenangkan. Terlihat dari situ bahwa testimoni dari peserta belajar kerja PUSKAPA periode sebelumnya yang menyebutkan betapa sehatnya budaya kerja di PUSKAPA ternyata bukan hanya bohong belaka.

Mengomunikasikan pengetahuan dan menjangkau publik

Bagi saya, penting untuk lembaga akademis menghilangkan “pagar” di antara mereka dengan masyarakat awam. Lembaga yang tidak menyesuaikan komunikasi pengetahuannya untuk publik hanya akan menyulitkan orang untuk mengakses hasil kajian mereka. Percuma melakukan kajian sedemikian rupa apabila pesan dan manfaatnya tidak berhasil disampaikan kepada masyarakat luas. Keprihatinan itu saya salurkan dengan memilah beberapa lembaga riset sebagai tempat magang berdasarkan bagaimana mereka mempublikasikan hasil kajian dalam akun media sosial mereka. Publikasi hasil kajian yang ditampilkan dengan rapi di situs PUSKAPA diolah kembali dengan bahasa yang lebih membumi dalam unggahan di Instagram dan Twitter. Dengan menambahkan visual dan menggunakan bahasa yang lebih sederhana, unggahan tersebut membuat saya segera jatuh hati pada PUSKAPA.

Saya belajar membuat thread atau utas Twitter untuk mengadvokasikan kebijakan kepada publik

Mendalami isu perlindungan anak dan proses penelitian

Selama tiga bulan saya bergabung di PUSKAPA sebagai peserta belajar kerja, semakin membuktikan pernyataan bahwa it takes a village to raise a child adalah benar adanya. Memberikan kesejahteraan dan hidup yang layak bagi anak akan sulit diwujudkan apabila hanya dibebankan pada keluarga saja. PUSKAPA menunjukkan dari beragam isu dan persoalan yang dikaji, diusung, dan diadvokasikan bahwa negara dan masyarakat turut memiliki andil. Baik secara individu maupun kolektif setiap bagian memiliki peran yang besar dalam mewujudkan kesejahteraan anak. Karenanya isu perlindungan dan kesejahteraan anak tidak melulu soal anak, namun juga soal lingkungan di sekitarnya. Permasalahan pencatatan kependudukan, rehabilitasi sosial, dan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah contoh keberagaman isu yang PUSKAPA usung dan saya berkesempatan terlibat di dalam kegiatan berkaitan dengan tiga isu tersebut.

Penelitian harus dapat dipertanggungjawabkan secara akademis juga menjadi salah satu pesan yang selalu didengungkan selama saya belajar kerja di PUSKAPA. Pesan tersebut ditekankan agar proses penelitian, mulai dari studi literatur, melakukan wawancara dengan informan, hingga penelitian turun ke lapangan dilakukan sesuai dengan pedoman yang telah disusun, sehingga hasil penelitian tidak merugikan, sesuai kaidah ilmiah, dan valid. Para mentor PUSKAPA mengajarkan banyak hal tentang proses penelitian yang teratur. Saya diajarkan bagaimana melakukan studi literatur secara sistematis agar tidak memakan waktu lama ketika membaca banyak artikel akademik. Selain itu saya juga dilibatkan dalam proses wawancara dengan informan dan diskusi kelompok terarah yang semuanya dilaksanakan secara daring. Pengalaman terlibat membantu dalam beberapa penelitian PUSKAPA menginspirasi saya untuk mengerjakan skripsi saya secara sistematis, rapi, dan menggunakan pedoman yang jelas. Harapannya, agar tidak hanya sekadar selesai tetapi juga hasil skripsi saya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Hal terakhir yang membuat pengalaman pertama mencicipi dunia kerja saya ini amat berkesan adalah keramahan dan kesabaran para mentor dan seluruh staf PUSKAPA selama program ini berlangsung. Para mentor menjelaskan konteks dan latar belakang dari tiap kegiatan dan penelitian yang PUSKAPA lakukan sehingga saya tidak dibiarkan kebingungan dalam mengerjakan tugas. Berbeda dari proses perkuliahan saya yang sering kali tidak mendapatkan evaluasi dan masukan dari para dosen, selama di PUSKAPA pekerjaan saya selalu diberikan umpan balik dan evaluasi oleh para mentor. Pemberian evaluasi dan masukan tidak luput dari pemberian apresiasi sehingga saya dan peserta belajar kerja lain dapat memperbaiki kesalahan kami di penugasan berikutnya tanpa merasa berkecil hati.

De-briefing yang dilakukan secara rutin setiap selesai melakukan perputaran divisi.

Saya beruntung karena PUSKAPA memiliki wadah yang rapi dalam menampilkan hasil-hasil kajian mereka. Saya dapat memastikan bahwa arah kajiannya sesuai dengan minat saya, yaitu mengkaji persoalan yang dialami masyarakat dari berbagai sudut pandang ilmu. Namun, bukan hanya substansi atau fokus kerja dari tempat magang yang perlu dicari tahu sebelum mendaftar, tetapi juga budaya kerjanya. Saya percaya bahwa budaya kerja yang sehat akan dapat mewujudkan visi dari tempat kerja itu secara efektif dan efisien. Kita bisa mencari tahu lebih banyak soal fokus atau orientasi tempat kerja lewat situs lembaga. Selain itu, kita juga perlu memaksimalkan sesi wawancara untuk lebih mengenali budaya kerja tempat tersebut. Dengan lebih kritis dan proaktif dalam mencari tempat magang, tentu akan memberikan manfaat pada perkembangan diri, bukan sekadar tambahan poin dalam CV ketika melamar saja.

--

--

PUSKAPA

We work with policymakers and civil society on inclusive solutions that create equal opportunities for all children and vulnerable populations.