Singkatnya, di tengah gelombang demonstrasi mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil lainnya minggu lalu, terdapat anak-anak setingkat SLTA yang ikut “turun ke jalan.” Pemberitaannya langsung membuat heboh misalnya di sini atau di sini, dan masih banyak lagi. KPAI juga ikut menyuarakan. Dalam beberapa detik, grup-grup WhatsApp langsung panas dengan ratusan tanggapan. Dalam hitungan menit, berbagai pernyataan sikap dan rilis media disusun dan disebarluaskan.
Saya tidak mau pura-pura tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang membuat anak-anak tersebut ikut bergerak, apa yang terjadi di area demonstrasi, dan kenapa polisi bertindak seperti yang sudah diberitakan.
Saya hanya ingin berefleksi atas reaksi kita, orang-orang dewasa, terhadap kejadian itu. Lebih tepatnya, reaksi para pemikir dan pekerja perlindungan anak.
Yang pasti, setiap ada seorang anak atau lebih tampak berpartisipasi dalam ruang publik tetapi wujudnya bertentangan dengan bayangan romantis kita tentang anak yang berprestasi, santun, lugu, atau “positif”, reaksinya selalu sama. Pertama, usut tuntas dan seret ke Pengadilan para penggerak yang mengeksploitasi anak-anak ini. Kedua, jauhkan anak-anak dari kegiatan atau kejadian serupa. Kedua reaksi ini bisa dilebarkan lagi ke dalam berbagai tuntutan dan imbauan, tapi dasar berpikirnya selalu yang dua ini.
Dua bentuk reaksi ini bisa jadi keliru dan yang pasti buru-buru dan tidak banyak faedahnya. Buru-buru mengajak dan menuntut agar para pelaku eksploitasi anak dalam demo kemarin diseret ke ranah hukum berarti kita sedang bilang bahwa anak-anak tersebut pasti digerakkan dan dimanfaatkan. Apakah kita tidak sedang terjebak dalam bias orang dewasa yang memandang anak sebagai manusia tanpa kapasitas memilih dan memutuskan? Padahal, para pemikir dan pekerja perlindungan anak percaya pada agency atau daya dalam diri anak. Belum lagi soal apa jalur hukum adalah satu-satunya jalan keluar untuk apa pun masalah kita? Sementara di sisi lain, kita sedang menuntut negara untuk tidak gampang menakut-nakuti warganya dengan ancaman pidana. Imbauan untuk menjauhkan anak-anak dari kegiatan di ruang publik juga sarat paradoks orang dewasa yang di satu sisi mengajarkan (atau berceramah tentang) prinsip partisipasi anak, tetapi di sisi lain ingin mengontrol bentuk partisipasi anak sejauh yang bisa kita terima atau cocok dengan selera kita.
Secara teori, prinsip partisipasi anak yang proporsional dengan kematangan usia dan kesiapan mental anak, selalu menarik. Dalam praktik, partisipasi anak bisa jadi menempatkan anak dalam situasi yang membahayakan dirinya atau orang lain. Ketika ini terjadi, naluri melindungi pasti muncul: “Jauhkan anak dari politik! Anak-anak itu cuma ikut-ikutan!”
Lupakah kita bahwa anak punya hak-hak sipil dan politik? Dalam konteks Indonesia, apalagi, anak usia 17 tahun sudah bisa memilih dalam pemilu. Bukankah mereka berhak untuk ikut menyuarakan kepentingannya? Bagaimana memastikan kita melindungi anak tanpa membunuh hak partisipasinya? Jangan terlalu naif menuduh anak tidak mengerti persoalan. Mereka juga aktif mengakses informasi di media sosial. Media mana yang diakses dan bagaimana mereka memahaminya, itu soal lain.
Yang pasti, kita selalu tidak siap. Sebagai refleksi untuk para pemikir dan pekerja perlindungan anak, jangan-jangan pendekatan kita soal partisipasi anak sudah tidak sesuai zaman.
Pertama, kemerdekaan anak atas tubuh dan pikirannya adalah kunci dalam partisipasi. Sudah pasti, kalau ada pihak yang memanfaatkan, anak-anak tidak sedang murni merdeka atas tubuh dan pikirannya. Tapi, jangan berhenti pada spekulasi ini. Kalau tidak, kita tidak lebih dari menggurui anak-anak dan tidak konsisten pada kepercayaan kita soal daya anak.
Kedua, partisipasi baru proporsional ketika anak paham atas risiko-risiko yang dihadapinya. Mungkin ini peran orang dewasa, termasuk orang tua, guru, aparat penegak hukum, dan para aktivis. Diskusikan risiko terkait bentuk penyuaraan pendapat di ruang publik dalam berbagai bentuk. Kerja sama dengan berbagai jejaring remaja dan anak muda untuk membincangkan ini.
Ketiga, pemahaman tentang risiko harus diimbangi dengan rencana mitigasi dari orang-orang di sekitar anak. Polisi dan lembaga masyarakat sipil yang berpotensi berhubungan langsung dengan anak di jalan dengan segala risikonya, harus punya mekanisme penanganan yang tanggap. Kerja sama juga dengan berbagai jejaring remaja dan anak muda untuk menyusun mekanisme ini. Libatkan anak dalam upaya memitigasi risiko tersebut.
Keempat, partisipasi baru lengkap ketika anak mengerti pilihan-pilihan apa yang ia punya. Misalnya, selain penyuaraan pendapat di jalan, ada cara apa lagi yang lain? Apakah alternatif itu tersedia dengan mudah dan bagaimana membuatnya jadi mudah juga harus dipikirkan bersama mereka.
Terakhir, partisipasi baru bermakna bila anak punya pemahaman lengkap tentang apa yang ia ingin suarakan dan bagaimana caranya. Soal RKUHP saja, misalnya, sudahkah kita menyediakan akses pada materi yang relevan dan forum-forum diskusi dalam medium-medium yang ramah anak? Belum lagi soal pendidikan berwarga dan berpikir kritis. Ini pekerjaan rumah kita semua.
Kelima hal di atas paling tidak adalah catatan untuk diri saya sendiri. Jelas, banyak nuansa dalam kejadian ini. Ada bias kekuasaan yang membuat aparat cukup minta maaf kalau berbuat salah di ruang publik, tetapi anak-anak harus dipermalukan dulu dan sebagian mungkin diproses lebih lanjut. Ada bias kelas yang membuat kita bilang itu anak-anak dari sekolah X (dengan berbagai label negatifnya), bukan anak saya. Satu pihak mencaci karena yang dilihatnya berandal cilik, pihak lain mengagungkan karena yang dilihatnya keberanian. Kita lupa ada persoalan besar tentang nilai kekerasan yang dipilih dan dipakai dalam bertindak. Termasuk oleh aparat, dan mungkin kita.
Santi Kusumaningrum
Direktur PUSKAPA