Pengasuhan dalam Lapas: Langkah Perbaikan Demi Kepentingan Terbaik Bagi Anak

PUSKAPA
5 min readMay 24, 2023

Tulisan Aisyah Assyifa dan Rayfienta K. Gumay untuk PUSKAPA

Sejumlah kasus menggambarkan situasi dilematis yang dihadapi orang tua di dalam lapas, khususnya ketidakpastian hukum dalam pemberian keringanan masa pemidanaan. Isma, seorang ibu yang dipidana ketika memiliki anak berusia enam bulan. Saat itu, pejabat daerah telah mengizinkan terpidana untuk ditahan di rumah dengan alasan terpidana memiliki bayi. Akan tetapi, Kemenkumham tidak mengizinkan dengan alasan tidak ada celah hukum dan regulasi yang membolehkan warga binaan bisa ditahan di rumah dengan alasan kemanusiaan. Sedangkan, di kasus lain, Jaksa Pinangki diberikan keringanan hukuman dengan alasan memiliki anak berusia empat tahun. Kasus lain, seperti Rismaya dan Anita, mengalami hal serupa.

Berbagai bukti ilmiah menunjukkan bahwa lapas bukan tempat yang baik untuk tumbuh kembang anak. Sayangnya, Kementerian Hukum dan HAM di tahun 2019 mencatat bahwa terdapat 67 anak yang diasuh di dalam lapas di Indonesia. Regulasi di Indonesia memperbolehkan narapidana perempuan untuk mengasuh anak di dalam lapas, namun, belum ada aturan yang memadai untuk mengatasi kebutuhan dan kerentanan spesifik yang dialami anak dengan orang tua narapidana.

Selain ketidakpastian hukum, regulasi yang ada saat ini juga belum cukup menjamin kualitas pengasuhan dan perlindungan bagi anak dengan pengasuh narapidana, baik ketika diasuh di dalam maupun di luar lapas. Aturan di Lapas Wirogunan Yogyakarta, misalnya, mengatur bahwa selama berada di lapas, anak hanya memperoleh 1 kali imunisasi. Padahal, idealnya, anak sudah harus memperoleh 10 kali imunisasi dasar lengkap sebelum usia satu tahun. Setelah usia dua tahun, anak yang dirawat di lapas sangat terbatas dalam memperoleh kualitas pengasuhan yang cukup dari pengasuh utamanya. Anak yang diasuh di luar lapas hanya dapat memperoleh kesempatan mengunjungi pengasuhnya selama 30 menit di hari Senin dan Jumat. Bahkan, di masa pandemi, anak hanya dapat mengunjungi orang tuanya secara daring selama 8 menit.

Selain itu, perdebatan seputar memberikan keringanan masa pemidanaan bagi pengasuh narapidana belum menyinggung permasalahan esensial mengenai kebutuhan anak secara holistik. Padahal, kebutuhan anak yang meliputi kebutuhan fisik-biologis, kebutuhan sosial-emosional, serta kebutuhan stimulasi, perlu turut menjadi pertimbangan penting. Apabila situasi ini tidak kunjung dibenahi, terdapat potensi risiko yang dapat mengancam tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak.

Selama ini, anak yang diasuh oleh narapidana di lapas sering diasosiasikan sebagai ‘anak bawaan’, atau ‘korban yang terlupakan’. Perbaikan sistem pengasuhan anak dengan orang tua narapidana diperlukan untuk mengubah situasi ini. Namun, seperti apa prioritas yang perlu dilakukan pemerintah dalam memulai pembenahan tersebut?

Pertama, regulasi yang mengatur pengasuhan anak dengan pengasuh narapidana, baik di dalam lapas sebagaimana diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, maupun di luar lapas sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pengasuhan Anak perlu ditinjau dan diperbaiki agar dapat mendukung berbagai kebutuhan pengasuhan.

Untuk memenuhi kebutuhan sosial-emosional, fokus yang diberikan pun seharusnya memperhatikan terjalinnya hubungan yang berkualitas antara pengasuh utama dengan anak. Ketika berada di dalam lapas, narapidana selaku pengasuh utama anak rentan berada pada kondisi di bawah tekanan yang dapat berpengaruh pada kesejahteraan dirinya maupun anak dalam pengasuhannya. Anak-anak yang masih berusia belia, khususnya di rentang 2–6 tahun, juga belum dapat sepenuhnya memproses atau menyesuaikan diri dengan trauma keterpisahan yang dialaminya. Maka, selain memastikan kualitas perlindungan yang baik dan menyeluruh pada usia tumbuh kembang anak, sistem juga perlu turut memperhatikan kondisi kesehatan fisik dan mental pengasuh narapidana untuk memastikan bahwa ia berada dalam kondisi yang mampu untuk mengasuh dan membangun kelekatan dengan anak secara optimal.

Selain kebutuhan adanya akan regulasi pengasuhan anak dengan pengasuh narapidana yang sensitif terhadap kebutuhan pengasuh narapidana, diperlukan pula upaya untuk mendorong anak memperoleh stimulasi dan dukungan, khususnya melalui interaksi dengan teman sebayanya, atau sarana pembelajaran sesuai dengan tahap perkembangan dirinya. Hal ini semakin menjadi penting dalam konteks pengasuhan di lapas dalam kurun waktu hingga usia dua tahun, sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Kedua, perlu dipastikan bahwa pemenuhan layanan bagi anak tidak terbatas diberikan pada anak yang berusia dua tahun ke bawah saja. Ketika anak tidak lagi diasuh di dalam lapas dan memperoleh pengasuhan alternatif, pemenuhan kebutuhan anak dari narapidana tetap perlu menjadi perhatian.

Berbagai bukti menunjukkan bahwa anak yang berada dalam pengasuhan narapidana berisiko mengalami kerentanan khusus akibat fungsi keluarga yang lemah, baik risiko perkembangan di usia balita maupun perilaku antisosial ketika remaja. Dengan demikian, sistem dan regulasi perlu memastikan kesejahteraan anak ketika ia dirawat di luar lapas dengan mengidentifikasi kebutuhan dan kemungkinan tantangan yang akan dihadapi anak maupun pengasuh lain yang akan merawatnya kelak.

Regulasi yang berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak dapat meminimalisasi risiko selama pengasuhan terjadi di dalam atau di luar lapas. Dengan demikian, langkah perbaikan sistem pengasuhan anak dengan pengasuh narapidana tidak hanya terdiri dari perbaikan regulasi semata, namun meliputi upaya memastikan pemberian layanan yang komprehensif dan sensitif terhadap berbagai bentuk kerentanan pengasuh narapidana dan anak. Hal ini dapat dilakukan melalui penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai, pemberian dukungan bagi kondisi fisik dan mental bagi orang tua narapidana, pembangunan lingkungan yang aman dan mendukung perkembangan anak, serta pemberian perhatian terhadap kondisi dan kebutuhan anak ketika ia sudah tidak lagi dirawat dalam lapas.

Referensi:

Arditti, J. A. (2016). A family stress-proximal process model for understanding the effects of parental incarceration on children and their families. Couple and Family Psychology: Research and Practice, 5(2), 65.

Kjellstrand, J. M., Reinke, W. M., & Eddy, J. M. (2018). Children of incarcerated parents: Development of externalizing behaviors across adolescence. Children and Youth Services Review, 94, 628–635.

Kjellstrand, J., Yu, G., Eddy, J. M., & Clark, M. (2020). Children with incarcerated parents and developmental trajectories of internalizing problems across adolescence. American Journal of Criminal Justice, 45(1), 48–69.

Kremer, K. P., Poon, C., Jones, C. L., Hagler, M. A., Kupersmidt, J. B., Stelter, R. L., … & Rhodes, J. E. (2020). Risk and resilience among children with incarcerated parents: examining heterogeneity in delinquency and school outcomes. Journal of Child and Family Studies, 29(11), 3239–3252.

Murray, J., & Farrington, D. P. (2008). The Effects of Parental Imprisonment on Children. Crime and Justice, 37(1), 133–206. https://doi.org/10.1086/520070

Schwartz, I. M. (1995). Children of Incarcerated Parents. Lexington Books.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan.

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pengasuhan Anak

Surat Keputusan Kepala Lapas Kelas IIA Yogyakarta Nomor : W.14.PAS.PAS.1–1175- OT.02.02 Tahun 2022 Tentang Penetapan Standar Pelayanan Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Yogyakarta.

--

--

PUSKAPA

We work with policymakers and civil society on inclusive solutions that create equal opportunities for all children and vulnerable populations.