RUU Penghapusan Kekerasan Seksual: Harapan Perlindungan dan Pemulihan Penyintas

PUSKAPA
7 min readSep 24, 2021

Ishlah Fitriani untuk PUSKAPA

Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat sepanjang tahun 2020 telah terjadi sebanyak 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sekilas, jumlah kasus ini terlihat menurun 31% dibandingkan tahun 2019 yang mencatat sebanyak 431.471 kasus. Namun, penurunan ini dipengaruhi oleh turunnya tingkat respons pengembalian formulir oleh lembaga-lembaga mitra Komnas Perempuan. Sehingga hal tersebut tidak dapat diartikan sebagai penurunan kasus kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan juga menemukan penurunan jumlah kasus terjadi karena beberapa alasan. Pertama, penyintas tidak berani melapor sebab dekat dengan pelaku selama masa pandemi. Kedua, penyintas cenderung mengadu kepada keluarga atau diam. Ketiga, persoalan literasi teknologi yang kurang memadai. Terakhir, model layanan pengaduan yang belum siap dengan kondisi pandemi.

Maraknya kasus kekerasan seksual menjadi sorotan banyak pihak, salah satunya Diana AV, anggota DPRD Jawa Timur. Diana mengkritisi cara penyelesaian kasus kekerasan seksual yang diarahkan secara kekeluargaan atau cara damai. Langkah ini seringkali diambil oleh penegak hukum lantaran proses hukumnya memang sangat panjang. Menurut Diana pada jurnalis Nusantara (2021), upaya damai hanya akan menambah multi trauma pada penyintas. Selain itu, pelaku juga tidak mendapatkan efek jera karena akan berpikir masalah dapat diselesaikan dengan cara damai. Diana mengaku banyaknya kasus kekerasan seksual yang tidak diselesaikan secara hukum ini sangat disayangkan. Dari pernyataan tersebut, dapat terlihat bahwa payung hukum yang ada saat ini tidak cukup untuk menangani bentuk-bentuk kekerasan seksual yang semakin beragam. Selain itu, penyintas juga kesulitan untuk melapor dan akses terhadap pemulihan juga sulit didapat karena sistem dan layanan pendukung yang ada belum bekerja dengan baik.

Kasus kekerasan seksual ada di sekitar kita. Komnas Perempuan menunjukkan pada tahun 2019, kasus kekerasan seksual menjadi salah satu jenis kekerasan yang mendominasi kekerasan terhadap perempuan, baik di ranah pribadi maupun publik. Pada ranah pribadi, jumlah kekerasan seksual yang terjadi sebesar 2.807 kasus atau sekitar 25% dari kasus di ranah pribadi. Sementara 58% kasus pada ranah publik dan komunitas merupakan kasus kekerasan seksual yang terdiri dari kasus pencabulan, pemerkosaan, pelecehan seksual, persetubuhan dan pencobaan perkosaan. Pada tahun 2018, kasus kekerasan seksual di ranah pribadi mencapai 2.988 kasus, sementara 2.521 kasus terjadi di ranah publik.

Tidak hanya perempuan, anak juga rentan mengalami tindak kekerasan seksual. Data SIMFONI PPA dari 1 Januari hingga 19 Juni 2020 menunjukkan terdapat 1.848 kekerasan seksual terhadap anak. Data dari Mabes Polri juga menunjukkan bahwa dari Januari hingga Agustus 2019 tercatat 236 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan secara daring. Sementara itu, di tahun 2018, ECPAT Indonesia menemukan 150 kasus yang berkaitan dengan eksploitasi seksual dengan mayoritas kasus terkait pornografi anak. Di tengah banyaknya catatan kasus kekerasan seksual, penyintas menjadi pihak yang paling terdampak, sementara keberpihakan pemerintah terhadap penyintas kekerasan seksual masih dipertanyakan.

Victim Blaming dan Dampak Kekerasan Seksual bagi Penyintas

Photo by Salman Hossain Saif on Unsplash

Tidak sedikit penyintas kekerasan seksual yang mengalami victim blaming saat melaporkan kasus yang dialaminya. Victim blaming sendiri merupakan bentuk respons yang cenderung menyalahkan penyintas atau peristiwa yang terjadi padanya. Riska Rosvianti, pendiri komunitas perEMPUan, saat diwawancarai VOA Indonesia (2019) memaparkan bahwa semakin banyak identitas minoritas yang dimiliki oleh seseorang, semakin rentan pula ia mengalami diskriminasi dan kekerasan seksual. Victim blaming kerap muncul dari identitas-identitas yang melekat pada penyintas. Menurut Riska, perempuan, kelompok disabilitas, kelompok minoritas seksual, dan anak berhadapan dengan hukum (ABH) merupakan kelompok yang rentan mengalami kekerasan seksual. Selain itu, mereka juga memiliki risiko lebih tinggi untuk disalahkan dan didiskriminasi oleh penegak hukum karena identitas yang mereka miliki. Hal ini tentu akan berdampak secara emosional kepada penyintas kekerasan seksual. Harapan penyintas untuk mendapatkan keadilan menjadi sirna dan justru mendapatkan beban emosional yang akan membekas di dalam dirinya.

Victim blaming tidak seharusnya dilakukan kepada penyintas kekerasan seksual. Salah satu bentuk victim blaming yang sering terjadi di masyarakat adalah menyalahkan pakaian penyintas kekerasan seksual. Mari kita refleksikan kasus pelecehan seksual yang terjadi di masjid baru-baru ini. Penyintas dengan jelas terekam kamera sedang melaksanakan ibadah dengan pakaian (mukena) yang tertutup. Namun, apakah hal tersebut dapat melindungi mereka dari pelaku kekerasan seksual? Tidak. Bahkan salah satu penyintas kekerasan seksual di Pangkalpinang yang terekam di kamera pengawas masjid merupakan anak perempuan yang masih berusia belia. Hal ini menjadi bukti bahwa tindakan kekerasan seksual merupakan kesalahan pelaku. Menyalahkan penyintas hanya akan membuat penyintas trauma dan enggan untuk membicarakan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Artinya, akan semakin sulit bagi kita untuk mendeteksi kasus kekerasan seksual dan memastikan penyintas mendapat segala dukungan yang dia butuhkan. Menciptakan kondisi yang membungkam penyintas, juga akan membuat pelaku tidak dapat ditemukan artinya kita tidak bisa memastikan ia tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

Kekerasan seksual yang diterima akan mengakibatkan penyintas mengalami dampak biologis, psikologis, dan sosial. Adapun gangguan psikologis yang dialami penyintas dapat berupa gangguan emosional, gangguan perilaku, maupun gangguan kognisi (Anindya, 2020). Dampak psikologis dari tindak kekerasan seksual bagi penyintas harus diperhatikan dengan serius. Begitu psikologis penyintas terkena dampaknya, maka pola pikir penyintas perlahan-lahan berubah dan memengaruhi berbagai hal. Mulai dari cara berpikir terhadap sesuatu, kestabilan emosi yang rentan, bahkan depresi. Selain dampak psikologis, dampak sosial juga dirasakan oleh penyintas kekerasan seksual. Stigma negatif yang dilekatkan pada penyintas kekerasan seksual tak jarang membuat penyintas dikucilkan dari lingkungannya. Kesadaran masyarakat yang relatif rendah terkait akar permasalahan kekerasan seksual menjadi salah satu faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Kekerasan seksual yang terjadi berulang kali merupakan manifestasi dari budaya patriarki dalam masyarakat. Kesenjangan kuasa antara laki-laki dan perempuan yang telah berlangsung sejak lama membuat patriarki dimaklumi begitu saja. Kondisi yang telah membudaya ini membutuhkan intervensi yang bersifat sistematis seperti undang-undang untuk memperbaikinya.

Penyintas kekerasan seksual juga mengalami dampak biologis (fisik). Kekerasan seksual dapat mengakibatkan penyintas mengalami luka internal, pendarahan, kerusakan organ internal, penyakit menular seksual (PMS), bahkan hingga kematian. Oleh karenanya, penting untuk dapat memberikan layanan kesehatan yang tepat bagi penyintas kekerasan seksual. Risiko kehamilan juga mungkin terjadi pada penyintas. Menikahkan penyintas dengan pelaku kekerasan seksual bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi kehamilan penyintas. Hal ini justru akan memberikan dampak jangka panjang bagi penyintas. Menyerahkan penyintas kepada orang yang telah melakukan tindak kekerasan dengan dalih menutup aib keluarga bukanlah suatu bentuk upaya melindungi penyintas kekerasan seksual. Dukungan dan pendampingan medis, psikologis, dan hukum berdasarkan kebutuhan penyintas diperlukan agar penyintas dapat segera pulih dan memiliki semangat untuk meneruskan hidupnya kembali.

Belum Adanya Dasar Hukum yang Kuat untuk Menangani Kekerasan Seksual

Indonesia belum memiliki peraturan yang cukup untuk menangani masalah kekerasan seksual. Jenis kekerasan seksual yang dikenal dalam peraturan di Indonesia masih sederhana, sehingga belum mampu mengakomodasi berbagai jenis kekerasan seksual yang berbeda-beda. Terlebih, belum semua peraturan yang ada dapat menjamin pemenuhan hak korban dengan baik. Komnas Perempuan dalam Naskah Akademik RUU Penghapusan Kekerasan seksual menjelaskan bahwa terdapat jenis-jenis kekerasan seksual yang lebih kompleks dibanding kekerasan seksual yang dikenal di berbagai peraturan perundangan yang ada. Terdapat 15 jenis kekerasan seksual yang diidentifikasi oleh Komnas Perempuan yaitu: perkosaan (dengan perluasan definisi), intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan dan mendiskriminasi perempuan, dan kontrol seksual.

Dengan beragamnya jenis kekerasan seksual yang dapat menimpa penyintas, pemenuhan hak korban juga perlu mendapatkan perhatian khusus. Namun, beberapa peraturan yang memuat hak korban belum memiliki ketentuan penyelenggaraan yang selaras dalam berbagai tingkat. Contohnya, Undang-Undang Perlindungan Anak yang sudah memuat tentang hak anak korban kekerasan seksual belum mengatur kewajiban perumusan peraturan pelaksanaan untuk mengakomodasi hak tersebut, baik bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Contoh lainnya adalah perbedaan peraturan penyelenggaraan hak korban kekerasan seksual yang terdapat dalam UU №13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan UU №23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. UU Perlindungan Saksi dan Korban mengatur agar layanan medis dan psikososial bagi korban dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan bekerja sama dengan lembaga terkait. Sementara itu, UU PKdRT mengatur agar pemenuhan hak korban kekerasan seksual dikoordinasikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Perbedaan peraturan penyelenggaraan ini dapat menimbulkan kebingungan pada pelaksanaannya.

Pengesahan RUU PKS sebagai Bentuk Keberpihakan terhadap Penyintas

Uraian mengenai dampak buruk kekerasan seksual serta kosongnya peraturan yang mengatur hak korban dan penindakan pelaku menekankan bahwa kita sangat membutuhkan undang-undang khusus untuk melindungi penyintas kekerasan seksual. Sudah terlalu banyak penyintas kekerasan seksual di sekitar kita, baik yang melapor, maupun yang memilih untuk diam. Untuk membantu para penyintas pulih dan mencegah munculnya korban-korban baru dari para pelaku kekerasan seksual, dibutuhkan pendekatan sistematis melalui undang-undang.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan harapan bagi kita semua untuk menciptakan lingkungan yang lebih berpihak kepada penyintas kekerasan seksual. Sayangnya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang telah diperjuangkan sejak tahun 2016 tersebut sempat dikeluarkan dari Prolegnas 2020, walau kemudian dimasukkan kembali dalam Prolegnas 2021. Ditariknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Prolegnas 2020 sangat mengecewakan banyak pihak, apalagi karena kebutuhan akan payung hukum yang dapat memberi perlindungan dan mendukung pemulihan penyintas semakin mendesak. Ditambah lagi terdapat pihak-pihak yang menolak untuk mendukung pengesahan RUU PKS karena berbagai miskonsepsi yang berkembang.

Dengan dimasukkannya RUU PKS dalam Prolegnas 2021 ini, semoga ada kabar baik bagi perjuangan membela hak penyintas kekerasan seksual. Semoga.

Tulisan ini merupakan karya akhir Ishlah Fitriani dalam program Belajar Kerja di PUSKAPA Batch III yang bertujuan menjadi sarana bagi peserta untuk mengembangkan kemampuan menulis, berargumen, dan menyuarakan pendapat mereka. Isi tulisan sepenuhnya didasari ketertarikan dan pendalaman peserta atas isu yang mereka pilih. Opini yang termuat tidak mewakili pandangan atau pendapat PUSKAPA atas isu terkait.

--

--

PUSKAPA

We work with policymakers and civil society on inclusive solutions that create equal opportunities for all children and vulnerable populations.